Kabupaten Jayapura, jelajahpapua.com – Persoalan tanah yang di bangun Puskesmas sentani di daerah sentani di kemiri masih menjadi persoalan besar, dimana Masyarakat Adat Yahim-Yobeh dengan Pemkab Jayapura saling klem kepemilikan tanah tersebut.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayapura memediasi masyarakat adat Yahim-Yobeh dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura, Rabu, (21/06/2023) di Yahim Sentani.
Mediasi yang pertama ini dipimpin oleh Ketua DPRD Kabupaten Jayapura Klemens Hamo di mana kedua belah pihak belum mendapatkan solusi dan kesepakatan.
“Klemens memberikan apresiasi kepada semua Ondofolo yang punya hak ulayat yang ada di Puskesmas Sentani di Kemiri, dan Puskesmas Komba dan juga Kantor Cabang Dinas Kehutanan Provinsi Papua di Kemiri. Dalam diskusi-diskusi memang ada beberapa hal, antara mereka dengan mereka yang tidak ada solusi.
Menurutnya, untuk pemerintah daerah itu sudah melakukan sesuai dengan tahapan yang ada. Tetapi, dari pihak masyarakat Adat Yahim-Yobeh tetap pada pendiriannya bahwa tanah itu milik mereka. Sehingga ia meminta untuk fasilitas umum seperti Puskesmas itu tidak boleh dipalang, sebab itu pelanan kesehatan bagi masyarakat.
“Katanya siapapun dia tidak boleh melakukan pemalangan. Terus kalau ada hal-hal yang belum diselesaikan coba kita memediasi secara kekeluarga maupun adat untuk diselesaikan” tuturnya.
Dirinya menegaskan, jika memang tanahnya sudah bersertifikat, tidak ada cara lain harus dilakukan ke pengadilan. Seandainya sudah dari pengadilan juga tidak bisa, maka harus dibicarakan dengan baik namun jangan mengganggu fasilitas umum.
“Ketua DPRD meminta kepada pemerintah daerah mencoba untuk mendata semua persoalan tanah dengan baik dan harus punya data yang lengkap, dimana setiap mau dilakukan pembayaran tanah dan juga penyelesaian masalah tanah itu jangan hanya satu dua kali pertemuan saja, sehingga semua pihak mendapat kesepakat namun tidak bertentangan dengan institusi.
Menurut Klemens Hamo, kesepakatan terkait masalah tanah selama ini yang terjadi selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga melawan institusi. Tetapi, institusi ini tetap tidak boleh ikut dalam kesepakatan tersebut.
“Kalau memang ada hal-hal yang akan dibicarakan dengan adat, silahkan lapor ke kami. Jika itu sudah tidak ada masalah, ya sudah sesuai peraturan. Menurut saya, seperti tadi yang sudah saya sampaikan agar kembalikan ke adat.
Apabila ada oknum yang bermain, maka kami dari DPR juga akan berikan ketegasan dengan melakukan pengawasan fungsi kontrol yang kita lakukan.
“Sehingga kehadiran kami di Obhe Yahim, untuk memberikan penjelasan kepada mereka dan akhirnya mereka dapat menerima dengan baik. Tak hanya itu, dalam waktu dekat ada titik terang yang akan disampaikan ke pemerintah daerah,” ungkapnya.
Ditempat yang sama, Kepala Suku Felayme, Hermes Felle mengatakan, bahwa masyarakat adat dalam menancapkan baliho (peringatan) di Puskesmas Sentani yang ada di Kemiri itu tidak melakukan kekerasan atau melarang masyarakat untuk berobat.
“Puskesmas di Kemiri itu yang tadi dilakukan penancapan baliho oleh masyarakat adat itu tidak mau palang atau bukan aksi pemalangan. Hal itu harus perlu diketahui juga teman-teman yang punya kewajiban, terutama kepolisian juga harus tahu. Kecuali kalau ada terjadi pemalangan, maka di situlah mungkin ada teman-teman dari pihak kepolisian bisa lakukan untuk penurunan atau pembukaan palang di lokasi itu,” kata pria yang juga Anggota DPRD Kabupaten Jayapura dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
“Kalau hanya menancap sebuah baliho itu semacam sikap peringatan yang dipampang di depan Puskesmas Sentani dan juga di Kantor Cabang Dinas Kehutanan di Kemiri. Itukan yang ditancap di depan dua lokasi hanya berupa sikap pernyataan yang tertuang dalam bentuk baliho. Lanjutnya menyampaikan, bahwa aksi itu bukan pemalangan dalam kacamata masyarakat adat dan pihaknya juga sudah melakukan tahapan yang begitu panjang. Akan tetapi, ketika ada imbauan atau peringatan tegas dari pihak adat yang menyepakati, untuk mengosongkan lokasi dan tidak boleh lagi melakukan aktivitas di sekitar areal Puskesmas Sentani yang ada di Kemiri.
“Itu adalah hak-hak otoritas tertinggi dari adat dan tidak bisa kita menghindari keputusan adat seperti itu. Karena keputusan adat itu adalah keputusan yang paling tertinggi dan tidak bisa dipungkiri oleh siapapun yang ada di atas lokasi tersebut,” bebernya.
Katanya, keputusan adat itu mutlak, karena putusan ada itu tidak tertulis seperti begitu.
“Jadi, apapun persoalan sengketa tanah yang terjadi di Puskesmas Kemiri dan Puskesmas Komba. Hal itu adalah sikap pernyataan yang telah diambil oleh otoritas tertinggi dari pihak masyarakat adat Yahim-Yobeh untuk lokasi tersebut.
“Hal itu harus didengar dan dilaksanakan oleh pihak pemerintah daerah, khususnya Pemkab Jayapura yang harus melaksanakan itu. Karena pendopo yang ada di kampung ini sebagai mitra pemerintah. Untuk persoalan yang ada ini, mari kita duduk sama-sama bicara dengan pihak masyarakat adat, untuk menyelesaikan konflik atau sengketa seperti ini, apa solusinya yang harus kita ambil dan bukan berdiam diri,” sambungnya.
Mediasi ini saya melihat sudah positif dan tidak boleh diabaikan oleh pihak pemerintah. Tidak boleh duduk diam dan harus mengambil langkah-langkah, untuk bisa menyelesaikan persoalan sengketa tanah di dua lokasi Puskesmas dan kantor cabang Kehutanan Papua di Kemiri,” tutupnya. (Imel)